17 Februari, 2009

Sebuah Perenungan...

Di halaman sekolah, sebatang pohon tumbuh. Bercabang impian, berdaun bintang-bintang. Di setiap senin pagi, ketika berupacara bendera, anak-anak memandang pohon itu sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Ada anak yang menyanyikan lagu itu seperti tak merdeka. Dari kepalanya berhamburan impian-impian seperti gelembung-gelembung udara yang terbang dan kemudian pecah di udara terbuka.
Di dalam kelas pak guru selalau berkata kepada mereka.
" Ayo, tanamkanlah olehmu pohon masa depan!"
Ibu guru selalu bilang, "Ayolah, tanam pohon kemerdekaan. Biar bercabang jadi cerita di halaman masa depan. Biar suatu saat kamu bisa bersandar di keteduhan dan kekukuhan cabang-cabangnya. Biar suatu saat kamu melihat burung-burung dan kupu-kupu membikin rumah dalam cinta dan bahagiamu."
"Pohon apa Bu?"
"Pohon Masa Depan."
Aneh, mereka belum pernah dengar nama pohon itu, lalu mereka cari nama itu dalam buku, di dalam kamus, di perpustakaan-perpustakaan. Tetapi mereka tak pernah menemukan nama pohon itu.
"Bu Guru, Pak Guru! Seluruh buku telah ku baca dan seluruh perpustakaan telah ku datangi , tapi kami tak menemukan nama pohon itu."
Lalu pak guru dan bu guru memandang mereka seperti gugusan hujan , seperti memandang bukit nun jauh di desa-desa.
"Carilah terus! sampai kamu temukan pohon itu, maka belajarlah dan siapkanlah bagaimana caranya mengelola tanah , bagaimana caranya mencintai kehidupan."
Anak-anak itu pun akhirnya kembali memasuki perpustakaan-perpustakaan. Mereka buka lagi buku-buku dengan melihat rumus-rumus ilmu pengetahuan.
Demikianlah setiap hari mereka baca halaman masa depan.Mereka mulai meuliskannya dan menghapal huruf-huruf baru. Lalu mereka saksikan ilmu pengetahuan tumbuh bercabang dari satu buku ke buku lain, dari satu pohon ke pohon lain. Kupu-kupu dan burung-burung hinggap membikin sarang di hati mereka. Pohon-pohon muda tumbuh menjalin masa depan denan kesuburan humus yang mereka ciptakan.
Setiap hari di sekolah mereka jadi pemimpi yang mengharapkan pohon mereka masing-masing. Diantara mereka ada yang bertanam pohon-pohon kecil, pohon-pohon besar, berbuah dan tak berbuah. Ada juga yang suka pada bunga. Ada juga lelaki malas yang hanya menanam pohon dengan berharap pada cuaca. Ada perempuan genit yang hanya menyukai bunga dan berharap suatu hari jadi artis.
"Aku ingin menanam pohon yang dari cabang-cabangnya berjatuhan tetesan getah!" kata seseorang.
"Aku ingin menanam pohon yang tangkai-tangkainya dipenuhi buah."
"Ah, kalau aku sih,suka bunga. jadi ku tanam saja bunga, biar dunua ini tetap cantik."
"Aku ingin..."
"Sudahlah! Ayo tanam olehmu pohon apa saja!"
Mereka olah tanah bumi sambil bernyanyi, lalu mereka siapkan doa, mereka siapkan gembur tanah dan aliran air,udara dan cuaca.
Di awal musim tangkai-tangkai daun tumbuh di alam pikiran mereka. Bunga-bunga mekar. Di halaman-halaman buku yang mereka baca mereka selalu temukan satu bunga dan satu daun. Dan pada malam hari,ketika mereka buka halaman-halaman baru, mereka lihat bunga-bunga tumbuh dan hidup pada setiap kalimat dan paragraf. Jadi ladang dan kebun yang luas. Bertahun-tahun mereka tanam pohon itu dalam hati dan pikiran mereka. Di kelas yang sunyi dan gaduh, di kelas yang bersih dan kotor. Lalu kita lihat mereka menjadi penanam yang baik.
Suatu hari di dalam kelas seorang anak berkata, " Pak Guru, Bu Guru! Saya ingin menciptakan pohon baru. Pohon yang tidak dipunyai oleh siapapun!"
Ibu dan Bapak Guru itu menjawab, "Ciptalah pohon itu! Ayo lakukanlah!"
Tetapi diantara bapak dan ibu Guru itu ada yang menjawab, "Jangan! Kau hanya boleh menanam pohon sesuai dengan petunjuk buku."
"Kenapa?"
"Ya, harus begitu."
Tetapi anak itu memiliki impian yang keras kepala. Malam selalu membawa ia pada luas langit dan harapan bumi di negeri=negeri yang jauh. Ia temukan bunga-bunga yang tak pernah ditemukan di buminya sendiri.
"Pak Guru, Bu Guru! Aku ingin menciptakan pohon baru!"
"Tidak boleh! Kamu jangan jadi pembangkang."
"Tapi aku hanya ingin pohon yang ada dalam mimpiku."
"Tidak boleh! kamu hanya boleh menanam pohon yang benihnya telah kami siapkan."
"Tetapi aku ingin...."
"heh, Pembangkang!" Guru itu kemudian menggebrak meja.
"Aku telah 32 tahun mengajar. Kamu mau jadi jagoan, mau merasa sok pintar? keluar kamu! Keluar!"
Anak itu pun keluar. Bertahun-tahun anak yang menginginkan pohon itu menjadi pemurung. ia merindukan pohon impiannya. Ia merasa dirinya bersama seluruh pohon impiannya tak pernah tumbuh. tak pernah diberi kesempatan untuk mekar dan berbuah. Ketika ditanya apa cita-citanya, ia kemudian menjawab "Aku ingin menjadi demonstran."
Ketika keluar sekolah dan tak melihat pohon impiannya, iatebas semua hutan yang bisa ditebas, ia bakar seluruh pohon yang bisa ia bakar, ia hancurkan apa yang bisa dihancurkan. Di kota-kota ia tumbuhkan api dan mencipta kerusuhan. Ia runtuhkan gedung dengan lemparan batu dan mesiu. Ia kenang pohon impiannya yang hilang. Ia kenang kesuburan tanah dan hijau daun dalam hatinya. Dan dalam pohon-pohon tumbang, dalam reruntuhan kota, ia tulis grafiti:
"Aku kini memimpikan pohon yang tumbuh dari api!"